Jumat, 04 Juli 2008

SELALU ADA CINTA


Hari itu adalah kegembiraan kaum muslimin. Teriakan takbir membahana, membelah angkasa. 10 ribuan kaum muslimin memasuki Mekah.Para shahabat tersenyum dengan wajah yang penuh bahagia. Di tengah gemuruh kebahagiaan itu ada seorang penunggang unta yang begitu tawadhu’, merunduk sampai dagunya hampir menyentuh punuk untanya. Samar-samar terdengar tasbih, tahmid, dan istighfar dari lisannya. Dialah Rasulullah yang mulia.

Sementara itu di dalam kota Mekah, kecemasan menyelimuti penghuninya. Mereka khawatir dan takut kalau hari itu Muhammad melampiaskan kemarahannya atas perlakuan kafir Quraisy selama ini. Toh, saat itu pasukan Muhammad sedemikian banyak dan kuat untuk bisa dikalahkan. Diantara mereka ada yang membayangkan darah akan menggenangi kota suci. Diantara mereka ada yang melewati detik-detik itu dengan sangat lambat karena yakin hidupnya tak lama lagi.

Sampailah batas waktu yang mereka cemaskan. Kaum muslimin tiba di tengah kota Mekah. Namun, betapa terkejutnya mereka ketika mendapatkan realita yang berbeda secara diametral dari kekhawatiran dan ketakukatannya. Rasulullah justru mengatakan “Siapa saja yang masuk Ka’bah, ia aman. Siapa saja yang masuk rumah Abu Sufyan ia aman. Siapa saja yang masuk rumah masing-masing ia aman.” Mendengar itu komunitas Quraisy terperangah, seakan tak percaya.

Demikianlah Rasulullah mengajarkan kepada kita. Beliau bukanlah seorang pendendam. Bukan pula orang yang mau melampiaskan kekesalannya pada saat mencapai kemenangan. Pada diri seorang muslim haruslah selalu ada maaf, selalu ada cinta.

Dan sejarah keteladanan itu selalu berulang ketika kaum muslimin dianugerahi kemenangan. Di Palestina, tatkala Umar bin Khattab membebaskan tanah suci ketiga itu beliau memaafkan begitu saja komunitas nasrani dan yahudi di sana. Beliau membiarkan gereja tetap berdiri. Bahkan kecintaannya pada seluruh umat berhasil membangkitkan toleransi dan kedamaian bagi penduduk kota tiga agama.

Hal yang sama terjadi pada Shalahudin Al-Ayyubi ketika memenangkan perang salib. Jika saja ia mau, teramat mudah untuk membunuh tawanan perang dan musuh-musuhnya sebagaimana pasukan salib menggenangi masjid dengan darah kaum muslimin. Namun perasaan cinta telah mengalahkan kebencian dan mengusir segala dendam. Selalu ada cinta. [Muchlisin]